Selasa, 01 Februari 2011

Akuntansi Syari`ah

1. Pengertian Akuntansi konvensional.
Ada beberapa definisi akuntansi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh akuntansi. Beberapa diantaranya adalah :
“Akuntansi adalah seni dalam menganalisa, mencatat, menggolongkan / mengklasifikasikan, mengikhtisarkan, menafsirkan dan mengkomunikasikan dengan cara tertentu dan dalam ukuran moneter, transaksi, dan kejadian-kejadian ekonomi dari suatu entitas hukum sosial.”
“Akuntansi merupakan proses mengidentifikasikan, mengukur, dan menyampaikan informasi ekonomi sebagai bahan informasi dalam hal mempertimbangkan berbagai alternatif dalam mengambil kesimpulan bagi pemakainya.”
“Akuntasi adalah bahasa bisnis yang memberikan informasi tentang kondisi ekonomi suatu perusahaan / organisasi dan hasil usaha / aktifitasnya pada suatu waktu atau periode tertentu, sebagai pertanggung jawaban manajemen serta pengambilan keputusan.”
2. Pengertian Akuntansi Syari`ah.
Sedang menurut literatur Islam akuntansi (muhasabah) didefinisikan “suatu aktifitas yang teratur berkaitan dengan pencatatan transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, keputusan-keputusan yang sesuai dengan syariat, dan jumlah-jumlahnya, di dalam catatan-catatan yang representatif, serta berkaitan dengan pengukuran hasil-hasil keuangan yang berimplikasi pada transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, dan keputusan-keputusan tersebut membantu pengambilan keputusan yang tepat.
Melalui definisi ini maka dapat dibatasi bahwa karakteristik muhasabah adalah :
1. Aktivitas yang teratur.
2. Pencatatan :
1. Transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, dan keputusan-keputusan yang sesuai dengan hukum.
2. Jumlah-jumlahnya.
3. Di dalam catatan-catatan yang representatif.
3. Pengukuran hasil-hasil keuangan.
4. Membantu dalam pengambilan keputusan.
3. Sejarah Akuntansi.
Mayoritas ahli sejarah akuntansi, mengira bahwa akuntansi tumbuh karena tumbuhnya serikat dagang. Pada hakekatnya tumbuhnya serikat dagang itu sebagai salah satu fenomena luasnya perdagangan tidaklah menjadi asas dalam perkembangan akuntansi. Sebab tumbuhnya serikat itu termasuk yang paling baru apabila dibandingkan dengan tumbuhnya negara itu sendiri. Sepanjang sejarah, barbagai negara seperti negeri Babil, Fir’aun dan Cina telah menciptakan, menggunakan dan mengembangkan salah satu bentuk pencatatan transaksi keuangan. Penggunaan tersebut menyerupai apa yang sekarang disebut “Maskud Dafatir” (Bookkeeping), dan bertujuan mencatat pendapatan dan pengeluaran negara.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa negara Islam telah mendahului Republik Itali sekitar 800 tahun dalam menggunakan sistem pembukuan. Selanjutnya salah satu sistem pembukuan modern yang dikenal dengan nama al Qaidul Muzdawaj yang sesuai dengan kebutuhan negara dari satu sisi, dan sesuai dengan kebutuhan para pedagang muslim disisi lain.
Di antara karya-karya tulis yang menegaskan penggunaan akuntansi dan pengembangannya di negara Islam, sebelum munculnya buku Lucas Pacioli, adalah adanya manuskrip yang ditulis pada tahun 765 H/ 1363 M. Manuskrip ini adalah karya seorang penulis muslim, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Kayah al Mazindarani dan berjudul Risalah Falakiyah Kitab as Siyaqat. Tulisan ini disimpan di perpustakaan Sultan Sulaiman al Qanuni di Istambul Turki. Tercatat di bagian manuskrip dengan nomor 2756, dan memuat tentang akuntansi dan sistem akuntansi di negara Islam. Huruf yang digunakan dalam tulisan ini adalah huruf arab. Tetapi bahasa yang digunakan campuran antara bahasa arab, Persia, dan Turki yang populer di Daulah Utsmaniah. Jadi buku ini ditulis lebih awal dari buku Pacioli Summa de Arithmetica, Geometria, Proportioni et Proportionalita, selama 131 tahun. Meskipun buku Pacioli yang pertama kali dicetak.
Dalam buku yang masih berbentuk manuskrip itu, al Mazindarani menjelaskan hal-hal berikut:
1. Sistem akuntasi yang populer saat itu, dan pelaksanaan pembukuan yang khusus bagi setiap sistem akuntansi.
2. Macam-macam buku akuntansi yang wajib digunakan untuk mencatat transaksi keuangan.
3. Cara menangani kekurangan dan kelebihan, yakni penyetaraan.
Menurutnya, sistem-sistem akuntansi yang populer saat itu (765 H/ 1363 M ) antara lain :
1. Akuntansi Bangunan
2. Akuntansi Pertanian
3. Akuntansi Pergudangan
4. Akuntansi Pembuatan Uang
5. Akuntansi Pemeliharaan Binatang
Sesungguhnya pengertian akuntansi di negara Islam hingga pengklasifikasiannya pada tahun 1924 berbeda dengan dengan apa yang ada di masyarakat lain di luar Islam. Karena pengertian akuntansi Islam atau muhasabah tidak sekedar pencatatan data-data keuangan, tetapi lebih sempurna.
4. Pembukuan Akuntansi Konvensional.
Ada sedikit kekaburan antara pembukuan (book keeping) dan akuntansi. Hal ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa keduanya saling berhubungan dan tidak ada pemisah yang tegas dan diterima secara umum. Pada umumnya pembukuan adalah pencatatan data perusahaan dengan suatu cara tertentu.seorang pemegang buku mungkin bertanggug jawab atas semua pencatatan dalam perusahaan atau hanya sebagian kecil saja dari kegiatan pencatatan dalam perusahaan tersebut. Sebagian besar pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pemegang buku bersifat teknis pelaksanaan.
Akuntansi, terutama berhubungan dengan perencanaan sistem pencatatan, penyusunan laporan berdasarkan data yang telah dicatat dan telah ditafsiran atas laporan-laporan tersebut. Makin besar perusahaan, makin banyak pula tingkat-tingkat pembagian tanggung jawab dan wewenang yang terdapat dalam perusahaan tersebut. Pekerjaan akuntan pada tingkat permulaan mungkin termasuk pekerjaan pembukuan. Dalam setiap keadaan, akuntan harus mempunyai pengetahuan yang lebih banyak, baik mengenai konse-konsep akuntansi maupun kemampuan analitisnya dibandingkan oleh seorang pemegang buku.
5.Pembukuan Akuntansi Syari`ah.
Salah seorang penulis muslim menemukan bahwa pelaksanaan pembukuan yang pernah digunakan negara Islam diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Dimulai dengan ungkapan “ Bismillah”
2. Apabila di dalam buku masih ada yang kosong, karena sebab apapun, maka harus diberi garis pembatas. Sehingga tempat yang kosong itu tidak dapat digunakan. Penggarisan ini dikenal dengan nama Tarqin.
3. Harus mengeluarkan saldo secara teratur. Saldo dikenal dengan nama Hashil.
4. Harus mencatat transaksi secara berurutan sesuai dengan terjadinya.
5. Pencatatan transaksi harus menggunakan ungkapan yang benar dan hati-hati dalam menggunakan kata-kata.
6. Tidak boleh mengoreksi transaksi yang telah tercatat dengan coretan atau menghapusnya. Apabila seorang akuntan kelebihan mencatat jumlah suatu transaksi, maka dia harus membayar selisih tersebut dari kantongnya pribadi kepada kantor. Demikian pula jika seorang akuntan lupa mencatat transaksi pengeluaran, maka dia harus membayar jumlah kekurangan di kas, sampai dia dapat melacak terjadinya transaksi tersebut. Pada negara Islam, pernah terjadi seorang akuntan lupa mencatat transaksi sebesar 1300 dinar. Sehingga dia terpaksa harus membayar jumlah tersebut. Pada akhir tahun buku, kekurangan tersebut dapat diketahui, yaitu ketika membandingkan antara saldo buku dengan saldo buku bandingan yang lain, dan saldo bandingannya yang ada di kantor.
7. Pada akhir periode tahun buku, seorang akuntan harus mengirimkan laporan secara rinci tentang jumlah (uang) yang berada di dalam tanggung jawabnya, dan cara pengaturannya terhadap jumlah uang tersebut.
8. Harus mengoreksi laporan tahunan yang dikirim oleh akuntan, dan membandingkannya dengan laporan tahun sebelumnya dari satu sisi, dan dari sisi lain dengan jumlah yang tercatat di kantor.
9. Harus mengelompokkan transaksi keuangan dan mencatatnya sesuai dengan karakternya dalam kelompok sejenis. Seperti mengelompokkan dan mencatat pajak yang memiliki satu karakter sejenis dalam satu kelompok.
10. Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumber pemasukan tersebut.
11. Harus mencatat pengeluaran di halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran tersebut.
12. Ketika menutup saldo harus meletakkan suatu tanda khusus padanya.
13. Setelah mencatat seluruh transaksi keuangan, maka harus memindahkan transaksi sejenis ke dalam buku khusus yang disediakan untuk transaksi yang sejenis itu saja (posting ke buku besar).
14. Harus memindahkan transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang independen, tidak terikat dengan orang yang melakukan pencatatan di buku harian dan buku yang lain.
15. Setelah mencatat dan memindahkan transaksi keuangan di dalam buku-buku, maka harus menyiapkan laporan berkala, bulanan atau tahunan sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan laporan keuangan itu harus rinci, menjelaskan pemasukan dan sumber-sumbernya serta pengalokasiannya. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973:163-165).
6.Prinsip Akuntansi Konvensional.
Prinsip akuntansi konvensional merupakan pedoman umun yang digunakan praktik akuntansi. Kata prisip akuntransi yang sering digunakan bersamaan dengan standar akuntansi.prinsip akuntansi ini dikembangkan berdasarkan logika pemikiram dalam kerangka teori akuntansi. Prinsip tersebut, biasanya dikeluarkan oleh badan-badan yang diakui pemerintah misalnya, Financial Accounting Standard Boards(FASB) di Amerka serikat.
Badan yang didirikan tahun 1973, menggantikan Accounting Principles Board (APB) yang dibentuk Amerika Institute of Certified Public Accontant (AICPA), 1959. APB didirikan dengan maksud mengintensifkan program-program riset mengenai prisip-prinsip akuntansiyang diterima umum (Generally Accepted Accounting Principles). Sebelumnya, program riset tersebut tidak ditangani secara terpisah. Jadi, langsung dilaksanakan oleh AICPA. Dari 1938 sampai 1959, AICPA telah menghasilkan Accounting Research Bulleting dan 4 Accounting Terminology Bulletin. Accounting Research Bulleti merupakan dasar perkembangan prinsip akuntansi.
7.Prinsip – Prinsip Akuntansi Islam
Prinsip-prinsip akuntansi yaitu sekumpulan petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang bersifat umum, yamg wajib diambil dan dipergunakan sabagai petunjuk dalam mengetahui dasar-dasar umum bagi akuntansi. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip Legitimasi Muamalat yaitu sasaran–sasaran, transaksi-transaksi, tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan itu sah menurut syariat.
2. Prinsip Entitas Spiritual adalah adanya pemisahan kegiatan investasi dari pribadi yang melakukan pendanaan terhadap kegiatan investasi tersebut.
3. Prinsip Kontinuitas yaitu prinsip yang keberadaanya dapat memberikan pandangan bahwa perusahaan itu akan terus menjalankan kegiatannya sampai waktu yang tidak diketahui, dan dilikuidasinya merupakan masalah pengecualian, kecuali jika terdapat indikasi yang mengarah kepada kebalikannya. Dari prinsip ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
4. Umur perusahaan tidak tergantung pada umur pemiliknya.
5. Mendorong manusia agar salalu beramal dan bekerja keras, padahal ia mengetahui bahwa dia akan tiada suatu saat nanti.
6. Prinsip kontinuitas (going concern) merupakan kaidah umum dalam investasi.
7. Prinsip ini menjadi dasar dalam pengambilan keputusan agar perusahan terus beroperasi.
1. Prinsip Matching yaitu suatu cermin yang memantulkan hubungan sebab akibat antara dua sisi, dari satu segi, dan mencerminkan juga hasil atau dari hubungan tersebut dari segi lainnya.
8.Kaidah-Kaidah Akuntansi Islam
Kaidah adalah sejumlah hukum-hukum pelaksanaan yang bersifat rinci dan saling terkait, yang berkaitan dengan cara penerapan petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang bersifat umum. Kaidah itu adalah:
1. Kaidah obyektivitas
2. Kaidah accrual yaitu suatu kaidah yang menangani tentang penjadwalan perimbangan pemasukan dan pengeluaran, baik yang diterima atau dibayarkan maupun yang belum diterima atau dibayarkan.
3. Kaidah pengukuran
4. Kaidah konsistensi adalah kaidah yang harus dipegang untuk menetapkan bahwa data akuntansi dapat dibandingkan. Kaidah ini terkait komitmen untuk mengikuti prosedurnya sendiri.
5. Kaidah periodisitas yaitu prinsip yang keberadaannya dapat memberikan pandangan bahwa perusahaan itu melakukan pelaporan dalam tenggat waktu tertentu secara berkesinambungan dan terus – menerus.
6. Kaidah pencatatan sistematis ialah pencatatan dalam buku dengan angka atau kalimat untuk transaksi – transaksi, tindakan-tindakan, dan keputusan-keputusan yang telah berlangsung pada saat kejadiannya, secara sistematis dan sesuai dengan karakter perusahaan serta kebutuhan manajemennya.
7. Kaidah transparansi yaitu penggambaran data-data akuntansi secara amanah, tanpa menyembunyikan satu bagian pun darinya serta tidak menampakkannya dalam bentuk yang tidak sesungguhnya, atau yang menimbulkan kesan yang melebihi makna data-data akuntansi tersebut.
9.Sifat Akuntansi Syari`ah
Menurut Muhammad Akram Khan sifat akuntansi Islam/Syari`ah adalah :
1. Penentuan laba rugi yang tepat
Walaupun penentuan laba rugi bersifat subyektif dan bergantung nilai, kehati-hatian harus dilaksanakan agar tercapai hasil yang bijaksana (sesuai syariah) dan konsisten, sehingga dapat menjamin bahwa kepentingan semua pihak pemakai laporan dilindungi
2. Mempromosikan dan menilai efisiensi kepemimpinan
Sistem akuntansi harus mampu memberikan standar berdasarkan hukum sejarah untuk menjamin bahwa manajemen mengikuti kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baik yang mempromosikan amal baik, serta dapat menilai efisiensi manajemen.
3.Ketaatan pada hukum syariah
Setiap aktifitas yang dilakukan oleh unit ekonomi harus dikenali halal haramnya. Faktor ekonomi tidak harus menjadi alasan tunggal untuk menentukan berlanjut tidaknya suatu organisasi, tetapi harus tetap tunduk terhadap syariat Islam.
4.Keterikatan pada keadilan
Karena tujuan utama dalam syariah adalah penerapan keadilan dalam masyarakat seluruhnya, informasi akuntan harus mampu melaporkan setiap kegiatan atau keputusan yang dibuat untuk menambah ketidakadilan di masyarakat.
5.Melaporkan dengan baik Informasi akuntansi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk melaporkan.
10. Perkembangan Pemikiran Akuntansi Syari`ah.
Sejak tiga dekade terakhir ini, dunia islam mulai menunjukkan geliat kehidupannya dari sudut jendela ilmu pengetahuan. Ismail al-Faruqi misalnya, lewat islamisasi ilmu pengetahuannya seolah menggoyah tidurlelapnya umat islam untuk bangun mengonstruksi ilmu pengetahuan berdasarkan jiwa tauhid. Instrumen penyebaran ide islamisasi ilmu pengetahuan ini telah didirikan di Herndon, Amerika Serikat, yang dikenal dengan nama Internasional Institute of Islamic thought(IIIT). Lembaga ini akhirnya menyebar ke beberapa negara islam lainnya, seperti: Pakistan, Arab Saudi, Iran, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia cabang ini didirikan sebagai cabang yang independen dengan nama International Institute of Islamic Thought-Indonesia(IIIT-I) pada November 1999 yang lalu.
IIIT melakukan islamisasi terhadap ilmu pengetahuan sosial, seperti: antropologi, ekonomi, psikologi, sosiologi, dan lain-lainnya.di Indonesia, IIIT-I memfokuskan diri pada konstruksi dan pengembangan Ekonomi Islam. Upaya ini dilakukan dua tingkat, yaitu: pada tingkat konsep teoritis dan pada tingkat praktis. Pada tingkat pertama teori-teori baru tentang Ekonomi islam dengan visi global, universal, dan local ke-Indonesia-an secara terus-menerus dikembangkan.
Usaha yang dilakukan pada tingkat pertama ini secara berkesinambungan diturunkan pada tingkat praktis di dunia empiris. Sementar, sampai saat ini wacana ekonomi islam yang telah turun pada dunia empiris adalah lembaga keuangan (bank syari`ah, baitul mal wa tamwil), asuransi islam(takaful), dan reksadana syari`ah.
Penekanan pada ekomoni islam cukup relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Pertama, sistem ekonomi islam melalui bank syari`ah yang memberika alternatif sistem perbankan yang tahan terhadap krisis ekonomi. Sistem perbankan ini diharapkan menjadi solusi bagi permasalahan sistem permasalahan nasional. Kedua, pemerintah Indonesia mendukung praktik perbankan syari`ah ini dengan mengeluarkan UU No.10/1998 tentang perubahan UU ini mempunyai efek yang besar bagi praktik perbankan syari`ah di Indonesia. Ketiga, beberapa lapisan masyarakat sangat mendukung berdirinya bank syari`ah, seperti pelopor berdirinya BPR-BPR syari`ah di Bandung, dan Bank Muamalat Indonesia di Jakarta sebelum tahun1992.
Kajian tingkat internasional tentang akuntansi dan bisnis dengan perspektif islam bukan suatu hal yang aneh lagi. The Islamic perspective on Accounting, and Commerce,and finance, misalnya, telah melakukan kajian sejak tahun 1996 dengan konferensi pertamanya di Sedney. Konferensi kedua di lakukan di Jordania pada tahun 1998, yang ketiga di Jakarta pada tahun 1999, dan yang keempat di Selandia Baru pada tahun 2001.
Disamping forum semacam di atas, terdapat juga lembaga perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan Islamic Studies. Dan berbagai perguruan tinggi di Indinesia memiliki pusat-pusat kajian bidang ini; salah satunya terdapat di Universitas Brawijaya, yaitu Center for business and Islamic economics studies. Kemudia di tahun 1999 telah menawarkan jurusa Akuntansi Syari`ah untuk mahasiswa akuntansi khususnya program S1. Sedangkan pada program Magister Sains Akuntansi juga menawarkan konsentrasi Akuntansi dan Akuntansi Syari`ah, pada tahun 2001.
Faktor-faktor ini mempunyai pengaruh besar bagi munculnya wacana akuntansi dengan paradigma syari`ah, baik pada tatanan konsep maupun praktik.
KESIMPULAN.

Akuntansi, terutama berhubungan dengan perencanaan sistem pencatatan, penyusunan laporan berdasarkan data yang telah dicatat dan telah ditafsiran atas laporan-laporan tersebut. Makin besar perusahaan, makin banyak pula tingkat-tingkat pembagian tanggung jawab dan wewenang yang terdapat dalam perusahaan tersebut. Pekerjaan akuntan pada tingkat permulaan mungkin termasuk pekerjaan pembukuan. Dalam setiap keadaan, akuntan harus mempunyai pengetahuan yang lebih banyak, baik mengenai konse-konsep akuntansi maupun kemampuan analitisnya dibandingkan oleh seorang pemegang buku.
Akuntansi Syari`ah merupakan sebuah wacana yang bisa digunakan untuk berbagai ide, konsep, dan pemikiran tentang akuntansi syari`ah itu sendiri. Wacana tersebut dapat terus berada pada tatanan konsep, tetapi bis juga diturunkan ketatanan yang lebih praktis. Dan akuntansi adalah disiplin ilmu yang dibentuk dan membentuk lingkungan. Oleh karena itu, bila akuntansi dilahirkan dalam lingkungan yang kapitalistik, maka informasi yang disampaikan mengandung nilai-nilai kapitalis.
Secara ontologis, Akuntansi Syari`ah pada dasarnya ingin membebaskan manusia dari jaringan kuasa kapitalis, atau jaringan kuasa semu lainnya yang membuat semu orientasi hidup manusia atau berpaling dari yang kuasa.
Di antara karya-karya tulis yang menegaskan penggunaan akuntansi dan pengembangannya di negara Islam, sebelum munculnya buku Lucas Pacioli, adalah adanya manuskrip yang ditulis pada tahun 765 H/ 1363 M. Manuskrip ini adalah karya seorang penulis muslim, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Kayah al Mazindarani dan berjudul Risalah Falakiyah Kitab as Siyaqat. Tulisan ini disimpan di perpustakaan Sultan Sulaiman al Qanuni di Istambul Turki. Tercatat di bagian manuskrip dengan nomor 2756, dan memuat tentang akuntansi dan sistem akuntansi di negara Islam. Huruf yang digunakan dalam tulisan ini adalah huruf arab. Tetapi bahasa yang digunakan campuran antara bahasa arab, Persia, dan Turki yang populer di Daulah Utsmaniah. Jadi buku ini ditulis lebih awal dari buku Pacioli Summa de Arithmetica, Geometria, Proportioni et Proportionalita, selama 131 tahun.
Penekanan pada ekomoni islam cukup relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Pertama, sistem ekonomi islam melalui bank syari`ah yang memberika alternatif sistem perbankan yang tahan terhadap krisis ekonomi. Sistem perbankan ini diharapkan menjadi solusi bagi permasalahan sistem permasalahan nasional. Kedua, pemerintah Indonesia mendukung praktik perbankan syari`ah ini dengan mengeluarkan UU No.10/1998 tentang perubahan UU ini mempunyai efek yang besar bagi praktik perbankan syari`ah di Indonesia. Ketiga, beberapa lapisan masyarakat sangat mendukung berdirinya bank syari`ah, seperti pelopor berdirinya BPR-BPR syari`ah di Bandung, dan Bank Muamalat Indonesia di Jakarta sebelum tahun1992.

definisi harga menurut islam


HARGA YANG ADIL.

1.      Pendahuluan.
                Transaksi  pasar bekerja berdasarkan mekanisme harga. Ajaran islam memberikan perhatian yang besar terhadap kesempurnaan mekanisme pasar . pasar  yang  bersaing sempurna dapat menghasilkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli. Karena, jika mekanisme pasar terganggu, maka harga yang adil tidak akan tercapai. Demikian pula dengan harga yang adil akan mendorong  para pelaku pasar untuk bersaing dengan sempurna. Jika harga tidak adil, maka para pelaku pasar akan enggan untuk bertransaksi atau malah terpaksa tetap bertransaksidengan mengalmi kerugian. Oleh karena itu islam sangt memperhatikan konsep harga yang adil dan mekanisme pasar yang sempurna.
                Tetapi, seringkali harga pasar yang tercipta dianggap tidak sesuai dengan kebijakan dan keadaan perekonomian  secara keseluruhan. Dalm dunia nyata mekanisme pasar terkadang tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya berbagai factor yang mendistorsinya. Untuk itu, pemerintah memilik peran yang besar dalam melakukan pengelolaan harga. Bagian awal maklah ini memaparkan konsep-konsep harga yang adil sejak masa Rasulullah saw, hingga Ibnu Taimiyah. Selanjutnya konsep harga yang adil di barat.dan pada bagian selanjutnya akan membahas tentang kebijakan pemerintah dalam regulasi harga. Dan pada bagian terakhir, akan dipaparkan pandangan islam terhadap penurunan harga.     

2.      Konsep Harga  yang Adil.
                Islam sangat menjunjung tinggi keadilan (al `adl/justice), termasuk juga dalam penentuan harga. Terdapat beberapa terminology dalm bahasa Arab yang maknanya menuju kepada harga yang adil ini, antara lain: si`r al mithl, thaman al mithl dan qimah al adl. Istilah qimah ai adl (harga yang adil) pernah digunakan rasulullahsaw, dalam mengomentari kompensasi bagi pembebasan budak, dimana budak ini akan memjadi manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasidengan harga yang adil atau qimah al `adl (sahih muslim). Penggunaan istilah ini juga ditemukan dalm laporan tentang khalifah Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Tholib. Umar bin Khatab menggunakan istilah harga yang adil ini ketika menetapkan nilai baru atas diyah(denda),setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik.
                Istilah qimah al`adl juga banyak digunakan oleh para hakim yang telah mengkondifikasikan hokum islam tentang transaksi bisnis dalam obyek barang cacat yang dijual, perebutan kekuasaan,membuang jaminan atas harta milik, dan sebagainya.
                Meskipun istilah-istilah diatas telah digunakn sejak masa Rasulullah dan kulafaurrasidin, tetapi sarjan muslim pertama yang  memberikan perhatian secara khusus adalh Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah sering menggunakn dua terminology dalm pembahasan harga ini, yaitu: `iwad al mithl(equivalen compensation/kompensasi yang setara) dan kamal thaman al mithl(equivalen price/harga yang setar). Dalam al Hisbahnya ia mengatakan: `kompensasi yang setar akan diukur dan ditaksirkan oleh hal-hal yang setar,dan itulah esensi keadilan(nafs al adl)’. Dimana pun ia membedakan antara dua jenis harga, yaitu harga yang tidak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dan mempertimbangkan harga yang setara itu sebagian harga yang adil. 
                Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalm transaksi yang islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, sebab ia adalah cerminan dari komitmen syari`ah islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum harga yang adil ini adalah jarga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.
                Konsep harga yang adil yang didasarkan atas konsep equivalen price jelas lebih menunjukkan pandangan yang maju dalam teori harga dengan konsep just price. Konsep just price hanya melihat harga dari sisi produsen sebab mendasari pada biaya produksi saja.konsep ini jelas kurangmemberikan rasa keadilan dalam perspektif yang lebih luas, sebab konsumen juga memiliki penilaian tersendiri atas harga suatu barang. Itulah sebabnya syari`ah islam sangat menghargai harga yang terbentuk loh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar.

3.      Harga yang Adil Dalam Sejarah Pemikiran Barat.
                Harga yang adil ternyata juga mendapt perhatian dari banyak pihak pemikir dunia dimanapun. Namun, ternyata para sarjana muslim telah jauh mendahului para pemikir barat dalm menganlisis harga dan mekanisme pasar. Schumpeter menyatakan bahwa hingga sebelum pertengahan  abad ke-18 tidak terdapat laporan yang jelas tentang pemikiran harga dan mekanisme pasar. Kalupun dapt ditemukan pemikiran tentang harga pada masa-masa itu, namun pendekatan yang digunakan adalah etika dan hokum, bukan pendekatan ekonomi.
Penulis Jerman Rudolf Kaulla menyatakan, “Konsep tentang justum pretium (harga yang adil) mula-mula dilaksanakan di Roma, dengan latar belakang pentingnya menem­patkan aturan khusus untuk memberi petunjuk dalam kasus-kasus yang dihadapi hakim, di mana dengan tatanan itu dia menetapkan nilai dari sebuah barang dagangan atau jasa. Pernyataan ini hanya menggambarkan sebagian dari bagaimana cara harga dibentuk dengan pertimbangan etika dan hukum. Pada masa itu etika merupakan bagian dari filsafat sehingga doktrin tentang harga juga bagian dari sistem filsafat itu. Dalam operasionalnya, penciptaan harga harus memanfaatkan otoritas penguasa melalui pendekatan hukum. Untuk mencapai harga yang adil maka penguasa pada akhirnya seringkali mengeluarkan kebijakan penetapan harga. Harga dibentuk lebih dengan pertimbangan keadilan daripada pertimbangan ekonomi.
 Ilmuwan pada abad pertengahan yang pemikirannya tentang harga banyak menjadi pijakan pemikiran di masa berikutnya adalah St Thomas Aquinas[1]. Tanpa secara eksplisit menjelaskan definisi harga yang adil Aquinas menyatakan, “sangat berdosa mempraktekkan penipuan terhadap tujuan penjualan sesuatu melebihi dari harga yang adil, karena itu sama dengan mencurangi tetangganya agar menderita kerugian. Aquinas mengutip pernyataan Cicero: “seluruh muslihat, tentu saja, tidak bisa dieliminasi dari perjanjian, hingga penjual tak bisa memaksa seseorang untuk menawar dengan harga lebih tinggi. Juga, tak bisa pembeli memaksa untuk membeli dengan harga yang lebih rendah”. Ia juga menyatakan, “harga yang adil itu akan menjadi salah satu hal yang tak hanya dimasukkan dalam perhitungan nilai barang yang dijual, juga bisa mendatangkan kerugian bagi penjual. Dan juga, suatu barang bisa dibolehkan secara hukum dijual lebih tinggi ketimbang nilainya sendiri, meskipun nilainya tak lebih dibanding harga dari pemiliknya”. Dari beberapa per­nyataan ini nampak jelas pendekatan etika dan hukum yang digunakan oleh Aquinas dalam menganalisis harga[2].

                                Sebenarnya, juga terdapat ilmuwan yang telah menganalisis harga dari sisi ekonomi sebelum Aquinas, yaitu Albertus Magnus (1193-1280). Ia berpendapat, “dua barang dagangan sama dalam nilainya dan nilai tukarnya akan menjadi adil bila dalam produksinya menunjukkan persamaan biaya buruh dan pengeluaran lainnya”. Sayang, Magnus tidak memberi definisi yang rinci tentang biaya ini, kecuali hanya menekankan pada evaluasi atau conditio atau status sosial : adil, sebagai hasil kerja perorangan tergantung pada kelasnya, jadi pada nilai dari jasa-jasanya
                Pendapat yang lebih jelas berasal dari pemikir Inggris, Dun Scotus (1265-1308). Menurutnya, harga itu harus meliputi biaya yang dikeluarkan oleh pedagang dalam pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan kompensasinya untuk industri, buruh dan biaya yang terkandung dalam barang dagangan itu sampai ke pasar. Dalam pandangan Scotus, harga yang adil adalah salah satu faktor yang mendorong seseorang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak. Pemikirannya tentang mekanisme harga relatif tidak memadai jika dibandingkan dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah yang notabene hidup kurang lebih 300 tahun sebelumnya. Penjelasannya lebih condong berhubungan dengan teori kuantitas uang daripada teori mekanisme harga, sebagaimana dikutip oleh Schumpeter, “Membedakan nilai dalam penggunaan dan dalam per­tu­karan (pretium eminens), ia (Pufendort) menyebutkan bahwa yang terakhir ditentukan oleh kelangkaan atau keberlimpahan barang dan uang secara relatif. Harga pasar kemudian cenderung menuju pada biaya-biaya yang secara normal harus diadakan dalam produksi”. Penghargaan terhadap teori kuantitas uang sendiri sebenarnya banyak diberikan kepada ilmuwan Perancis Jean Bodin.
                Harga yang adil dan berbagai cara pembentukannya tetap mendapat perhatian besar hingga kini. Para pemikir klasik banyak memberi perhatian atas harga yang adil ini. Adam Smith, yang disebut bapak ilmu ekonomi, barangkali adalah pemikir yang paling baik dalam penjelasannya tentang harga dari sisi ekonomi. Ia mengedepankan analisisnya tentang kekuatan permintaan dan penawaran dalam pembentukan harga yang alamiah (natural price). Menurutnya kekuatan tarik menarik kekuatan pasar secara bebas akan menghasilkan harga yang paling adil, baik bagi produsen maupun konsumen.
4.      Intervensi Pemerintah dalam Regulasi Harga.
 
            Dari penjelasan sebelumnya bisa diperoleh kesimpulan bahwa ajaran Islam secara keseluruhan menjunjung tinggi mekanisme pasar yang bebas. Harga keseimbangan dalam pasar yang bebas (competetive market price) merupakan harga yang paling baik, sebab mencerminkan kerelaan antara produsen dan konsumen (memenuhi persyaratan antaraddim min kum). Meskipun demikian, terkadang harga yang keseimbangan ini tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, baik karena tingkat harga ini terlalu tinggi atau rendah, atau juga karena proses pembentukan harga tersebut tidak wajar. Dalam dunia nyata, mekanisme pasar juga seringkali tidak berjalan dengan baik. Dalam keadaan seperti ini perlukah intervensi pemerintah ke dalam pasar agar harga menuju pada posisi yang diinginkan?
Secara lebih rinci Mannan (1992,) menunjukkan 3 fungsi dasar dari regulasi harga ini, yaitu :
  1. Harus menunjukkan fungsi ekonomi yang berhubungan dengan peningkatan produktifitas dan peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan realokasi sumber daya ekonomi.
  2. Harus menunjukkan fungsi sosial dalam memelihara keseimbangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin
  3. Harus menunjukkan fungsi moral dalam menegakkan nilai-nilai syariah Islam, khususnya yang berkaitan dalam transaksi ekonomi (misalnya kejujuran, keadilan, kemanfaatan/mutual goodwill - penulis)
Konsep Islam dalam model kebijakan regulasi harga ditentukan oleh 2 hal, yaitu: (1) jenis penyebab perubahan harga tersebut, dan (2) urgensi harga terhadap kebutuhan masyarakat, yaitu keadaan darurat. Secara garis besar penyebab perubahan harga dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
    • Genuine factors, yaitu faktor-faktor yang bersifat alamiah. Kebijakan yang ditempuh untuk stabilisasi harga adalah dengan intervensi pasar (market intervention) dengan mempengaruhi posisi permintaan dan atau penawaran sehingga tercipta harga yang lebih pas.
    • Non genuine factor, yaitu faktor faktor yang menyebabkan distorsi terhadap mekanisme pasar yang bebas. Kebijakan yang ditempuh untuk stabilisasi harga adalah dengan menghilangkan penyebab distorsi tersebut sehingga mekanisme pasar yang bebas dapat bekerja kembali, termasuk dengan cara penetapan harga (price intervention)
Jika masyarakat sangat membutuhkan suatu barang atau jasa sementara harga pasar benar-benar tidak terjangkau, maka pemerintah dapat melakukan intervensi harga. Keadaan ini benar-benar diperlukan sehingga dapat disebut darurat, karenanya harus diambil kebijakan darurat pula [3].



Intervensi /Penetapan Harga dalam Situasi Normal.


Kebijakan penetapan harga dapat menimbulkan banyak distorsi dalam pereko­nomian jika alasannya tidak tepat. Secara umum distorsi yang ditimbulkan karena peneta­pan harga yang tidak tepat adalah:
·         Terjadi senjang (gap) antara permintaan dan penawaran
·         Senjang tersebut akan menimbulkan kelebihan permintaan (excess demand) atau kelebihan penawaran (excess supply).
·         Akibat selanjutnya akan muncul pasar-pasar gelap (black market) yang memperdagangkan barang dan jasa pada harga pasar.
·         Pembentukkan black market ini seringkali disertai dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Dari sisi mikroekonomi, penetapan harga ini juga dapat merugikan produsen, konsumen, dan perekonomian secara keseluruhan. Surplus yang dinikmati oleh konsumen dan produsen akan saling bertambah dan berkurang. Sebagian berkurangnya surplus konsumen akan berpindah kepada produsen, atau sebaliknya. Tetapi ada sebagian lain yang tidak saling berpindah melainkan benar-benar hilang (deadweight loss) karena inefisiensi kebijakan ini. Dan akhirnya, secara keseluruhan perekonomian akan menikmati surplus yang lebih kecil dibandingkan dengan pada sistem pasar bebas.
Jenis kebijakan intervensi harga yang dikenal lazim diterapkan dalam perekono­mian konvensional antara lain:
·         Penetapan Harga di atas Harga Pasar
Kebijakan ini menetapkan harga pada suatu tingkat di atas harga pasar. Hal ini dilakukan biasanya untuk melindungi produsen dari harga yang terlalu rendah sehingga tidak memperoleh marjin keuntungan yang memadai (bahkan merugi). Harga yang terjadi atas kekuatan pasar dipandang tidak menguntungkan produsen, sehingga harus dinaikkan oleh pemerintah. Salah satu contoh yang populer adalah kebijakan floor price (harga dasar) di mana pemerintah menetapkan tingkat harga terendah dari suatu barang, sementara harga ini di atas harga pasar. Contoh dari kebijakan ini adalah kebijakan harga dasar gabah yang telah lama dilakukan pemerintah untuk stabilisasi harga beras. Pada saat panen raya padi maka penawaran beras di pasar mengalami kenaikan, sehingga secara alamiah harga akan turun.
Penetapan harga dasar gabah ini akan menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Penetapan harga di atas harga pasar akan menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran. Kelebihan ini kemungkinan besar tidak akan diserap oleh konsumen, sebab harganya terlalu tinggi. Para konsumen akhirnya akan mencari beras di pasar-pasar gelap yang menjual pada harga pasar. Importir-importir gelap akan berlomba-lomba mendatangkan beras dari tempat lain yang bisa memberikan harga pasar. Dalam kenyataan, pembentukan pasar gelap selalu disertai dengan munculnya kolusi, korupsi dan nepotisme antara pihak-pihak yang terkait. Akibatnya, beras-beras di pasar resmi tidak akan laku. Dalam kondisi seperti ini biasanya dengan terpaksa para produsen juga akan menjual berasnya pada harga pasar (daripada tidak laku).

·         Penetapan Harga di Bawah Harga Pasar
Mekanisme kebijakan ini merupakan kebalikan dari kebijakan sebelumnya, di mana pemerintah menetapkan harga lebih rendah daripada harga pasar. Alasan yang umum dalam mengambil kebijakan ini adalah untuk melindungi konsumen dari harga yang terlalu tinggi. Pengaruh penetapan harga ini juga tidak jauh berbeda, yaitu menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Karena harga terlalu rendah maka akan terjadi kelebihan permintaan, sebab konsumen membeli dengan harga lebih murah dari yang seharusnya. Tetapi bagi produsen harga ini jelas tidak menguntungkan sehingga kemungkinan akan enggan untuk melepaskan barang-barangnya ke pasar. Para produsen akan cenderung menjual barangnya ke pasar lain (black market) yang bisa memberinya harga yang lebih tinggi. Sebagaimana dalam penetapan harga di atas harga pasar, kemunculan pasar gelap ini selalu diikuti dengan kolusi, korupsi dan nepotisme. Sejalan dengan pemikiran ini, al Baji (1911) – seorang ahli fiqh mazhab Maliki – berpendapat bahwa penetapan harga yang tidak memberikan marjin keuntungan yang wajar bagi penjual akan menimbulkan ketidakteraturan harga (fasad al as ‘ar), kemandegan penyediaan barang, dan akhirnya kerugian finansial kepaa masyarakat (Awqaf, 1987).          
Salah satu kebijakan yang populer dengan mekanisme ini adalah kebijakan harga tertinggi (ceiling price). Dalam kebijakan ini pemerintah memberikan batasan tertinggi harga dari suatu barang. Tentu saja harga yang ditetapkan berada di bawah harga pasar yang seharusnya, sebab tujuan dari kebijakan ini memang melindungi konsumen dari kenaikan harga pasar.
Banyak contoh kebijakan seperti ini di Indonesia, misalnya harga bahan bakar minyak (BBM). Selama ini harga BBM ditetapkan oleh pemerintah, semen­tara tingkat harga ini biasanya di bawah harga pasar internasional. Kemunculan black market BBM akhirnya tak bisa dihindarkan. Penyelundupan BBM untuk dijual di luar negeri (terutama Singapura, Malaysia) banyak terjadi, sebab harga BBM di luar negeri lebih memberikan keuntungan bagi penjual BBM. Dampak lain yang muncul adalah konsumsi BBM yang meningkat, sebab konsumen membayar jauh lebih murah dibandingkan utilitas yang dinikmatinya.

5.      Intervensi / Penetapan Harga yang Islami

Jika jumhur ulama telah sepakat bahwa Islam menjunjung tinggi mekanisme pasar bebas, maka mereka juga bersepakat bahwa hanya dalam kondisi-kondisi tertentu saja pemerintah dapat melakukan kebijakan penetapan harga. Prinsip dari kebijakan ini adalah mengupayakan harga agar kembali kepada harga yang adil, harga yang normal/wajar, atau harga pasar. Pemikir-pemikir besar seperti Ibnu Taimiyah, Al Ghazali, Ibnu Qudamah memiliki pandangan yang sejalan dalam hal intervensi pasar ini, sementara Ibnu Khaldun tidak mengajurkan dengan tegas meskipun sangat menekankan pentingnya mekanisme pasar yang bebas.
Penetapan harga ini dapat dilakukan jika: (1) faktor-faktor yang menyebabkan perubahan harga adalah distorsi terhadap genuine factors, dan (2) terdapat urgensi masyarakat terhadap penetapan harga, yaitu keadaan darurat. Beberapa penyebab yang lazim menimbulkan distorsi ini antara lain :
·         Adanya penimbunan (ikhtikar) oleh segelintir penjual
·         Adanya persaingan yang tidak sehat, menggunakan cara-cara yang tidak fair, antar penjual sehingga harga yang tercipta bukan harga pasar yang sebenarnya.
·         Adanya keinginan yang amat jauh berbeda antara penjual dan pembeli, misalnya penjual ingin menjual dengan harga yang terlalu tinggi sementara pembeli ingin membeli dengan terlalu rendah.
Kadangkala ada penjual yang sengaja menimbun dan menahan barangnya pada suatu waktu dengan tujuan untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi di waktu mendatang. Di sini penimbunan memang dilakukan untuk mempermainkan harga sesuai dengan kepentingan penimbun. Inilah yang disebut ikhtikar yang tidak saja dilarang oleh ajaran Islam karena merugikan masyarakat banyak, tetapi juga dikategorikan perbuatan dosa[4] Dengan adanya penimbunan ini berarti jumlah barang yang ditawarkan di pasar akan berkurang secara semu, sebab sesungguhnya hanya berpindah ke gudang penimbunan penjual.

Adanya ikhtikar ini tentu saja merugikan konsumen sebab mereka harus membeli dengan harga yang lebih tinggi yang merupakan monopolistic rent. Agar harga kembali pada posisi harga pasar maka pemerintah dapat melakukan berbagai upaya menghilangkan penimbunan ini (misalnya dengan penegakan hukum), bahkan juga dengan intervensi harga. Dengan harga yang ditentukan ini maka para penimbun dapat dipaksa (terpaksa) menurunkan harganya dan melempar barangnya ke pasar.

Persaingan dalam pasar seringkali berjalan tidak sehat, tidak fair, sehingga harga yang terjadipun tidak mencerminkan competition market price. Beberapa praktek hal ini antara lain:
1.      Demi meraih keuntungan yang tinggi seringkali penjual melakukan berbagai cara untuk bisa menjual pada harga yang tinggi. Manipulasi terhadap informasi yang benar seringkali dilakukan oleh produsen, sehingga ekspektasi konsumen terhadap barang yang dibelinya menjadi salah. Inilah yang disebut tadlis, yaitu penipuan. Para pembeli dalam kasus ini sesungguhnya terpaksa harus membayar dengan harga yang lebih tinggi dari yang sewajarnya. Tadlis dapat terjadi dalam hal kualitas (barang bermutu rendah dikatakan bermutu tinggi), kuantitas (ukuran atau takaran yang tidak tepat) atau harga (barang murah dijual dengan mahal).
2.      Harga yang tinggi ini dapat diambil antara lain karena memanfaatkan ketidaktahuan/kebodohan konsumen terhadap barang yang dijual (ghaban faa hisy). Kebodohan konsumen sengaja dimanfaatkan untuk menaikkan harga sehingga harga yang terjadi tentu tidak akan mencerminkan keuntungan riil keduanya.
3.      Cara lain adalah dengan melakukan kolusi antara penjual dan sekelompok pembeli tertentu (yang sebenarnya kolega penjual) untuk menipu harga pasar. Misalnya konsumen tertentu ini membeli dengan harga tinggi sehingga konsumen lainnya terpaksa juga membeli dengan harga tinggi pula.
4.      Sementara untuk memenangkan persaingan dengan pelaku lain juga terdapat penjual yang menawarkan barangnya dengan harga di bawah pasar .Dalam pasar yang kompetetif, sebagaimana kondisi pasar pada masyarakat Islam klasik, menjual di bawah harga pasar merupakan predatory market. Dengan menjual di bawah harga pasar, meskipun harus merugi, para penjual ini berharap pesaingnya akan keluar dari pasar, dan setelah itu mereka bisa kembali menaikkan harga untuk mendapatkan keuntungan di atas normal profit. Dalam situasi seperti ini para penjual yang memiliki modal besar kemungkinan mampu bertahan, tetapi yang bermodal kecil terpaksa keluar dari pasar.
Dalam kenyataan seringkali juga terjadi penjual menawarkan dagangan dengan harga yang terlalu tinggi, sementara konsumen menginginkan terlalu rendah. Jika proses tawar-menawar di antara keduanya tidak dapat terjadi, maka dapat dipastikan mekanisme pasar akan terganggu. Untuk itu pemerintah harus juga menetapkan harga yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, yaitu harga yang lazim (customary price).
Jumhur ulama juga sepakat bahwa kondisi darurat (emergency) dapat menjadi alasan pemerintah mengambil kebijakan intervensi harga, tetapi tetap berpijak kepada keadilan. Secara umum kondisi darurat yang dimaksud adalah
·         Harga naik sedemikian tinggi di luar kewajaran sehingga tidak terjangkau masyarakat
·         Menyangkut barang-barang yang amat dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya bahan pangan, dan
·         Terjadi ketidakadilan atau eksploitasi antara pelaku-pelaku dalam transaksi tersebut.
Imam Hanafi menyatakan bahwa pada prinsipnya intervensi harga dilarang, tetapi bisa diterapkan jika para penjual menaikkan harga secara berlebihan dan para qadi (hakim) tidak dapat melindungi masyarakat terhadap bahaya ini.

6.      Cara Menurunkan Harga Menurut Islam.  
Penyebab kenaikan harga tersebut di atas bisa diakibatkan oleh 3 faktor: Pertama, Langkanya barang, semisal akibat bencana alam, Kedua, Penurunan nilai mata uang yang dipegang masyarakat, Ketiga, Tingginya permintaan, semisal menjelang hari besar Islam. Ketiga faktor tersebut sama-sama akan membuat kenaikan harga, atau kemampuan uang untuk mendapatkan harga sembako tersebut akan menurun, sehingga untuk mendapatkan harga sembako, masyarakat harus mengeluarkan jumlah uang yang lebih besar dari biasanya. Dan ini bisa disebut sebagai inflasi (kenaikan harga).Perbedaannya adalah, apabila faktor pertama dan ketiga adalah faktor yang bukan berasal dari perbuatan jelek dari tangan manusia, sehingga Nabi SAW melarang menetapkan harga (ta’sir) ketika para shahabat menginginkannya agar harga tidak berfluktuatif. Sedangkan faktor ketiga adalah bukan sebab alami, melainkan sebab perbuatan jelek dari tangan manusia. Dan inilah problem inflasi yang dibahas dalam dunia akademisi ekonomi dalam bidang ekonomi makro. Karena kenaikan harga (inflasi) pada es jeruk atau barang-barang kebutuhan pokok pada faktor kedua, merupakan hal yang biasa terjadi dalam skala tahunan dan secara agregat (merata pada suatu masyarakat), dan hal ini terjadi bukan oleh sebab kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok tersebut. Dalam konsep free market swasta dibebaskan dari keterikatannya terhadap negara dan tanggung jawab atas permasalahan sosial yang terjadi karena aktivitas perusahaan mereka. Pengurangan tingkat upah dengan menghapus serikat-serikat pekerja dan memotong hak-hak buruh. Harga dibiarkan bergerak tanpa intervensi pemerintah. Kebebasan total di dalam perpindahan modal, barang, jasa. Para pengusung free market senantiasa menyatakan: “Pasar yang tidak diatur adalah jalan terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan memberikan keuntungan bagi setiap orang.”Perdagangan harus berjalan sebagai bagian dari ibadah. Dalam pandangan Islam perdagangan dibiarkan perdagangan secara wajar. Mekanisme penawaran dan permintaan akan menciptakan menciptakan tata pemenuhan kebutuhan masyarakat dan penetapan harga di atas keridhaan semua pihak yaitu antara penjual dan pembeli bukan ditentukan oleh sepihak (penjual saja). Negara mengawasi agar tidak terjadi praktek-praktek yang terlarang seperti penipuan, penimbunan, monopoli, kedzaliman, menetapkan harga, menaikkan harga. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas sebagaimana berikut: “Orang orang mengatakan, wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan saya sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezalimanpun dalam darah dan harta.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).



KESIMPULAN.

Ajaran islam memberikan perhatian yang besar terhadap kesempurnaan mekanisme pasar dan harga yang adil. Dan Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalm transaksi yang islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, sebab ia adalah cerminan dari komitmen syari`ah islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum harga yang adil ini adalah jarga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.
Terdapat beberapa terminology dalm bahasa Arab yang maknanya menuju kepada harga yang adil ini, antara lain: si`r al mithl, thaman al mithl dan qimah al adl. Istilah qimah ai adl (harga yang adil) pernah digunakan rasulullahsaw, dalam mengomentari kompensasi bagi pembebasan budak, dimana budak ini akan memjadi manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasidengan harga yang adil atau qimah al `adl (sahih muslim). Penggunaan istilah ini juga ditemukan dalm laporan tentang khalifah Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Tholib. Umar bin Khatab menggunakan istilah harga yang adil ini ketika menetapkan nilai baru atas diyah(denda),setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik.
                Istilah qimah al`adl juga banyak digunakan oleh para hakim yang telah mengkondifikasikan hokum islam tentang transaksi bisnis dalam obyek barang cacat yang dijual, perebutan kekuasaan,membuang jaminan atas harta milik, dan sebagainya.
                Meskipun istilah-istilah diatas telah digunakn sejak masa Rasulullah dan kulafaurrasidin, tetapi sarjan muslim pertama yang  memberikan perhatian secara khusus adalh Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah sering menggunakn dua terminology dalm pembahasan harga ini, yaitu: `iwad al mithl(equivalen compensation/kompensasi yang setara) dan kamal thaman al mithl(equivalen price/harga yang setar). Dalam al Hisbahnya ia mengatakan: `kompensasi yang setar akan diukur dan ditaksirkan oleh hal-hal yang setar,dan itulah esensi keadilan(nafs al adl)’. Dimana pun ia membedakan antara dua jenis harga, yaitu harga yang tidak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dan mempertimbangkan harga yang setara itu sebagian harga yang adil. 
                Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalm transaksi yang islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, sebab ia adalah cerminan dari komitmen syari`ah islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum harga yang adil ini adalah jarga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.
               



[1] Menurut O’Brien (1920, h. 18), “kajian Aquinas tentang masalah ekonomi terus menerus menjadi dasar pijakan bagi seluruh penulis sampai akhir abad ke 15. Pendapatnya tentang berbgai point, memperkeras dan menjelaskan terhadap para penulis kemudian untuk mengembangkan lebih detail ketimbang hasil kerjanya…”
[2] Salin dalam tulisannya pada Encyclopedia of Social Science memberikan komentar yang berbeda tentang pemikiran Thomas Aquinas ini, yaitu: “… tidaklah benar untuk mengatakan bahwa harga yang adil yang diformulasikan oleh Aquinas dan kemudian diikuti oleh para sarjana sama sekali tidak memiliki kandungan ekonomis” (Islahi, 1996).
[3] Beberapa kaidah hukum Islam yang relevan dengan situasi darurat antara lain :
·       Ad dharurahtu tuhbihul mahdurat, yaitu dalam situasi darurat status suatu hukum dapat berubah. Ajaran Islam yang menjunjung tinggi mekanisme pasar dapat ditiadakan sementara, kemudian diterapkan intervensi harga.
·       Al dharurahtu qaddaru bi qadriha, yaitu langkah yang diambil ditentukan oleh tingkat/derajat kedaruratannya.
[4] Dengan kata lain, ikhtikar adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual barang lebih sedikit (yang lainnya ditahannya) untuk harga yang lebih tinggi. Bersumber dari Said bin al Musyyab dan Ma’mar bin Abdullah al Adawi bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Tidaklah orang melakukan ikhtikar itu melainkan berdosa” (HR Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)