Selasa, 01 Februari 2011

definisi harga menurut islam


HARGA YANG ADIL.

1.      Pendahuluan.
                Transaksi  pasar bekerja berdasarkan mekanisme harga. Ajaran islam memberikan perhatian yang besar terhadap kesempurnaan mekanisme pasar . pasar  yang  bersaing sempurna dapat menghasilkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli. Karena, jika mekanisme pasar terganggu, maka harga yang adil tidak akan tercapai. Demikian pula dengan harga yang adil akan mendorong  para pelaku pasar untuk bersaing dengan sempurna. Jika harga tidak adil, maka para pelaku pasar akan enggan untuk bertransaksi atau malah terpaksa tetap bertransaksidengan mengalmi kerugian. Oleh karena itu islam sangt memperhatikan konsep harga yang adil dan mekanisme pasar yang sempurna.
                Tetapi, seringkali harga pasar yang tercipta dianggap tidak sesuai dengan kebijakan dan keadaan perekonomian  secara keseluruhan. Dalm dunia nyata mekanisme pasar terkadang tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya berbagai factor yang mendistorsinya. Untuk itu, pemerintah memilik peran yang besar dalam melakukan pengelolaan harga. Bagian awal maklah ini memaparkan konsep-konsep harga yang adil sejak masa Rasulullah saw, hingga Ibnu Taimiyah. Selanjutnya konsep harga yang adil di barat.dan pada bagian selanjutnya akan membahas tentang kebijakan pemerintah dalam regulasi harga. Dan pada bagian terakhir, akan dipaparkan pandangan islam terhadap penurunan harga.     

2.      Konsep Harga  yang Adil.
                Islam sangat menjunjung tinggi keadilan (al `adl/justice), termasuk juga dalam penentuan harga. Terdapat beberapa terminology dalm bahasa Arab yang maknanya menuju kepada harga yang adil ini, antara lain: si`r al mithl, thaman al mithl dan qimah al adl. Istilah qimah ai adl (harga yang adil) pernah digunakan rasulullahsaw, dalam mengomentari kompensasi bagi pembebasan budak, dimana budak ini akan memjadi manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasidengan harga yang adil atau qimah al `adl (sahih muslim). Penggunaan istilah ini juga ditemukan dalm laporan tentang khalifah Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Tholib. Umar bin Khatab menggunakan istilah harga yang adil ini ketika menetapkan nilai baru atas diyah(denda),setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik.
                Istilah qimah al`adl juga banyak digunakan oleh para hakim yang telah mengkondifikasikan hokum islam tentang transaksi bisnis dalam obyek barang cacat yang dijual, perebutan kekuasaan,membuang jaminan atas harta milik, dan sebagainya.
                Meskipun istilah-istilah diatas telah digunakn sejak masa Rasulullah dan kulafaurrasidin, tetapi sarjan muslim pertama yang  memberikan perhatian secara khusus adalh Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah sering menggunakn dua terminology dalm pembahasan harga ini, yaitu: `iwad al mithl(equivalen compensation/kompensasi yang setara) dan kamal thaman al mithl(equivalen price/harga yang setar). Dalam al Hisbahnya ia mengatakan: `kompensasi yang setar akan diukur dan ditaksirkan oleh hal-hal yang setar,dan itulah esensi keadilan(nafs al adl)’. Dimana pun ia membedakan antara dua jenis harga, yaitu harga yang tidak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dan mempertimbangkan harga yang setara itu sebagian harga yang adil. 
                Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalm transaksi yang islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, sebab ia adalah cerminan dari komitmen syari`ah islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum harga yang adil ini adalah jarga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.
                Konsep harga yang adil yang didasarkan atas konsep equivalen price jelas lebih menunjukkan pandangan yang maju dalam teori harga dengan konsep just price. Konsep just price hanya melihat harga dari sisi produsen sebab mendasari pada biaya produksi saja.konsep ini jelas kurangmemberikan rasa keadilan dalam perspektif yang lebih luas, sebab konsumen juga memiliki penilaian tersendiri atas harga suatu barang. Itulah sebabnya syari`ah islam sangat menghargai harga yang terbentuk loh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar.

3.      Harga yang Adil Dalam Sejarah Pemikiran Barat.
                Harga yang adil ternyata juga mendapt perhatian dari banyak pihak pemikir dunia dimanapun. Namun, ternyata para sarjana muslim telah jauh mendahului para pemikir barat dalm menganlisis harga dan mekanisme pasar. Schumpeter menyatakan bahwa hingga sebelum pertengahan  abad ke-18 tidak terdapat laporan yang jelas tentang pemikiran harga dan mekanisme pasar. Kalupun dapt ditemukan pemikiran tentang harga pada masa-masa itu, namun pendekatan yang digunakan adalah etika dan hokum, bukan pendekatan ekonomi.
Penulis Jerman Rudolf Kaulla menyatakan, “Konsep tentang justum pretium (harga yang adil) mula-mula dilaksanakan di Roma, dengan latar belakang pentingnya menem­patkan aturan khusus untuk memberi petunjuk dalam kasus-kasus yang dihadapi hakim, di mana dengan tatanan itu dia menetapkan nilai dari sebuah barang dagangan atau jasa. Pernyataan ini hanya menggambarkan sebagian dari bagaimana cara harga dibentuk dengan pertimbangan etika dan hukum. Pada masa itu etika merupakan bagian dari filsafat sehingga doktrin tentang harga juga bagian dari sistem filsafat itu. Dalam operasionalnya, penciptaan harga harus memanfaatkan otoritas penguasa melalui pendekatan hukum. Untuk mencapai harga yang adil maka penguasa pada akhirnya seringkali mengeluarkan kebijakan penetapan harga. Harga dibentuk lebih dengan pertimbangan keadilan daripada pertimbangan ekonomi.
 Ilmuwan pada abad pertengahan yang pemikirannya tentang harga banyak menjadi pijakan pemikiran di masa berikutnya adalah St Thomas Aquinas[1]. Tanpa secara eksplisit menjelaskan definisi harga yang adil Aquinas menyatakan, “sangat berdosa mempraktekkan penipuan terhadap tujuan penjualan sesuatu melebihi dari harga yang adil, karena itu sama dengan mencurangi tetangganya agar menderita kerugian. Aquinas mengutip pernyataan Cicero: “seluruh muslihat, tentu saja, tidak bisa dieliminasi dari perjanjian, hingga penjual tak bisa memaksa seseorang untuk menawar dengan harga lebih tinggi. Juga, tak bisa pembeli memaksa untuk membeli dengan harga yang lebih rendah”. Ia juga menyatakan, “harga yang adil itu akan menjadi salah satu hal yang tak hanya dimasukkan dalam perhitungan nilai barang yang dijual, juga bisa mendatangkan kerugian bagi penjual. Dan juga, suatu barang bisa dibolehkan secara hukum dijual lebih tinggi ketimbang nilainya sendiri, meskipun nilainya tak lebih dibanding harga dari pemiliknya”. Dari beberapa per­nyataan ini nampak jelas pendekatan etika dan hukum yang digunakan oleh Aquinas dalam menganalisis harga[2].

                                Sebenarnya, juga terdapat ilmuwan yang telah menganalisis harga dari sisi ekonomi sebelum Aquinas, yaitu Albertus Magnus (1193-1280). Ia berpendapat, “dua barang dagangan sama dalam nilainya dan nilai tukarnya akan menjadi adil bila dalam produksinya menunjukkan persamaan biaya buruh dan pengeluaran lainnya”. Sayang, Magnus tidak memberi definisi yang rinci tentang biaya ini, kecuali hanya menekankan pada evaluasi atau conditio atau status sosial : adil, sebagai hasil kerja perorangan tergantung pada kelasnya, jadi pada nilai dari jasa-jasanya
                Pendapat yang lebih jelas berasal dari pemikir Inggris, Dun Scotus (1265-1308). Menurutnya, harga itu harus meliputi biaya yang dikeluarkan oleh pedagang dalam pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan kompensasinya untuk industri, buruh dan biaya yang terkandung dalam barang dagangan itu sampai ke pasar. Dalam pandangan Scotus, harga yang adil adalah salah satu faktor yang mendorong seseorang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak. Pemikirannya tentang mekanisme harga relatif tidak memadai jika dibandingkan dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah yang notabene hidup kurang lebih 300 tahun sebelumnya. Penjelasannya lebih condong berhubungan dengan teori kuantitas uang daripada teori mekanisme harga, sebagaimana dikutip oleh Schumpeter, “Membedakan nilai dalam penggunaan dan dalam per­tu­karan (pretium eminens), ia (Pufendort) menyebutkan bahwa yang terakhir ditentukan oleh kelangkaan atau keberlimpahan barang dan uang secara relatif. Harga pasar kemudian cenderung menuju pada biaya-biaya yang secara normal harus diadakan dalam produksi”. Penghargaan terhadap teori kuantitas uang sendiri sebenarnya banyak diberikan kepada ilmuwan Perancis Jean Bodin.
                Harga yang adil dan berbagai cara pembentukannya tetap mendapat perhatian besar hingga kini. Para pemikir klasik banyak memberi perhatian atas harga yang adil ini. Adam Smith, yang disebut bapak ilmu ekonomi, barangkali adalah pemikir yang paling baik dalam penjelasannya tentang harga dari sisi ekonomi. Ia mengedepankan analisisnya tentang kekuatan permintaan dan penawaran dalam pembentukan harga yang alamiah (natural price). Menurutnya kekuatan tarik menarik kekuatan pasar secara bebas akan menghasilkan harga yang paling adil, baik bagi produsen maupun konsumen.
4.      Intervensi Pemerintah dalam Regulasi Harga.
 
            Dari penjelasan sebelumnya bisa diperoleh kesimpulan bahwa ajaran Islam secara keseluruhan menjunjung tinggi mekanisme pasar yang bebas. Harga keseimbangan dalam pasar yang bebas (competetive market price) merupakan harga yang paling baik, sebab mencerminkan kerelaan antara produsen dan konsumen (memenuhi persyaratan antaraddim min kum). Meskipun demikian, terkadang harga yang keseimbangan ini tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, baik karena tingkat harga ini terlalu tinggi atau rendah, atau juga karena proses pembentukan harga tersebut tidak wajar. Dalam dunia nyata, mekanisme pasar juga seringkali tidak berjalan dengan baik. Dalam keadaan seperti ini perlukah intervensi pemerintah ke dalam pasar agar harga menuju pada posisi yang diinginkan?
Secara lebih rinci Mannan (1992,) menunjukkan 3 fungsi dasar dari regulasi harga ini, yaitu :
  1. Harus menunjukkan fungsi ekonomi yang berhubungan dengan peningkatan produktifitas dan peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan realokasi sumber daya ekonomi.
  2. Harus menunjukkan fungsi sosial dalam memelihara keseimbangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin
  3. Harus menunjukkan fungsi moral dalam menegakkan nilai-nilai syariah Islam, khususnya yang berkaitan dalam transaksi ekonomi (misalnya kejujuran, keadilan, kemanfaatan/mutual goodwill - penulis)
Konsep Islam dalam model kebijakan regulasi harga ditentukan oleh 2 hal, yaitu: (1) jenis penyebab perubahan harga tersebut, dan (2) urgensi harga terhadap kebutuhan masyarakat, yaitu keadaan darurat. Secara garis besar penyebab perubahan harga dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
    • Genuine factors, yaitu faktor-faktor yang bersifat alamiah. Kebijakan yang ditempuh untuk stabilisasi harga adalah dengan intervensi pasar (market intervention) dengan mempengaruhi posisi permintaan dan atau penawaran sehingga tercipta harga yang lebih pas.
    • Non genuine factor, yaitu faktor faktor yang menyebabkan distorsi terhadap mekanisme pasar yang bebas. Kebijakan yang ditempuh untuk stabilisasi harga adalah dengan menghilangkan penyebab distorsi tersebut sehingga mekanisme pasar yang bebas dapat bekerja kembali, termasuk dengan cara penetapan harga (price intervention)
Jika masyarakat sangat membutuhkan suatu barang atau jasa sementara harga pasar benar-benar tidak terjangkau, maka pemerintah dapat melakukan intervensi harga. Keadaan ini benar-benar diperlukan sehingga dapat disebut darurat, karenanya harus diambil kebijakan darurat pula [3].



Intervensi /Penetapan Harga dalam Situasi Normal.


Kebijakan penetapan harga dapat menimbulkan banyak distorsi dalam pereko­nomian jika alasannya tidak tepat. Secara umum distorsi yang ditimbulkan karena peneta­pan harga yang tidak tepat adalah:
·         Terjadi senjang (gap) antara permintaan dan penawaran
·         Senjang tersebut akan menimbulkan kelebihan permintaan (excess demand) atau kelebihan penawaran (excess supply).
·         Akibat selanjutnya akan muncul pasar-pasar gelap (black market) yang memperdagangkan barang dan jasa pada harga pasar.
·         Pembentukkan black market ini seringkali disertai dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Dari sisi mikroekonomi, penetapan harga ini juga dapat merugikan produsen, konsumen, dan perekonomian secara keseluruhan. Surplus yang dinikmati oleh konsumen dan produsen akan saling bertambah dan berkurang. Sebagian berkurangnya surplus konsumen akan berpindah kepada produsen, atau sebaliknya. Tetapi ada sebagian lain yang tidak saling berpindah melainkan benar-benar hilang (deadweight loss) karena inefisiensi kebijakan ini. Dan akhirnya, secara keseluruhan perekonomian akan menikmati surplus yang lebih kecil dibandingkan dengan pada sistem pasar bebas.
Jenis kebijakan intervensi harga yang dikenal lazim diterapkan dalam perekono­mian konvensional antara lain:
·         Penetapan Harga di atas Harga Pasar
Kebijakan ini menetapkan harga pada suatu tingkat di atas harga pasar. Hal ini dilakukan biasanya untuk melindungi produsen dari harga yang terlalu rendah sehingga tidak memperoleh marjin keuntungan yang memadai (bahkan merugi). Harga yang terjadi atas kekuatan pasar dipandang tidak menguntungkan produsen, sehingga harus dinaikkan oleh pemerintah. Salah satu contoh yang populer adalah kebijakan floor price (harga dasar) di mana pemerintah menetapkan tingkat harga terendah dari suatu barang, sementara harga ini di atas harga pasar. Contoh dari kebijakan ini adalah kebijakan harga dasar gabah yang telah lama dilakukan pemerintah untuk stabilisasi harga beras. Pada saat panen raya padi maka penawaran beras di pasar mengalami kenaikan, sehingga secara alamiah harga akan turun.
Penetapan harga dasar gabah ini akan menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Penetapan harga di atas harga pasar akan menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran. Kelebihan ini kemungkinan besar tidak akan diserap oleh konsumen, sebab harganya terlalu tinggi. Para konsumen akhirnya akan mencari beras di pasar-pasar gelap yang menjual pada harga pasar. Importir-importir gelap akan berlomba-lomba mendatangkan beras dari tempat lain yang bisa memberikan harga pasar. Dalam kenyataan, pembentukan pasar gelap selalu disertai dengan munculnya kolusi, korupsi dan nepotisme antara pihak-pihak yang terkait. Akibatnya, beras-beras di pasar resmi tidak akan laku. Dalam kondisi seperti ini biasanya dengan terpaksa para produsen juga akan menjual berasnya pada harga pasar (daripada tidak laku).

·         Penetapan Harga di Bawah Harga Pasar
Mekanisme kebijakan ini merupakan kebalikan dari kebijakan sebelumnya, di mana pemerintah menetapkan harga lebih rendah daripada harga pasar. Alasan yang umum dalam mengambil kebijakan ini adalah untuk melindungi konsumen dari harga yang terlalu tinggi. Pengaruh penetapan harga ini juga tidak jauh berbeda, yaitu menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Karena harga terlalu rendah maka akan terjadi kelebihan permintaan, sebab konsumen membeli dengan harga lebih murah dari yang seharusnya. Tetapi bagi produsen harga ini jelas tidak menguntungkan sehingga kemungkinan akan enggan untuk melepaskan barang-barangnya ke pasar. Para produsen akan cenderung menjual barangnya ke pasar lain (black market) yang bisa memberinya harga yang lebih tinggi. Sebagaimana dalam penetapan harga di atas harga pasar, kemunculan pasar gelap ini selalu diikuti dengan kolusi, korupsi dan nepotisme. Sejalan dengan pemikiran ini, al Baji (1911) – seorang ahli fiqh mazhab Maliki – berpendapat bahwa penetapan harga yang tidak memberikan marjin keuntungan yang wajar bagi penjual akan menimbulkan ketidakteraturan harga (fasad al as ‘ar), kemandegan penyediaan barang, dan akhirnya kerugian finansial kepaa masyarakat (Awqaf, 1987).          
Salah satu kebijakan yang populer dengan mekanisme ini adalah kebijakan harga tertinggi (ceiling price). Dalam kebijakan ini pemerintah memberikan batasan tertinggi harga dari suatu barang. Tentu saja harga yang ditetapkan berada di bawah harga pasar yang seharusnya, sebab tujuan dari kebijakan ini memang melindungi konsumen dari kenaikan harga pasar.
Banyak contoh kebijakan seperti ini di Indonesia, misalnya harga bahan bakar minyak (BBM). Selama ini harga BBM ditetapkan oleh pemerintah, semen­tara tingkat harga ini biasanya di bawah harga pasar internasional. Kemunculan black market BBM akhirnya tak bisa dihindarkan. Penyelundupan BBM untuk dijual di luar negeri (terutama Singapura, Malaysia) banyak terjadi, sebab harga BBM di luar negeri lebih memberikan keuntungan bagi penjual BBM. Dampak lain yang muncul adalah konsumsi BBM yang meningkat, sebab konsumen membayar jauh lebih murah dibandingkan utilitas yang dinikmatinya.

5.      Intervensi / Penetapan Harga yang Islami

Jika jumhur ulama telah sepakat bahwa Islam menjunjung tinggi mekanisme pasar bebas, maka mereka juga bersepakat bahwa hanya dalam kondisi-kondisi tertentu saja pemerintah dapat melakukan kebijakan penetapan harga. Prinsip dari kebijakan ini adalah mengupayakan harga agar kembali kepada harga yang adil, harga yang normal/wajar, atau harga pasar. Pemikir-pemikir besar seperti Ibnu Taimiyah, Al Ghazali, Ibnu Qudamah memiliki pandangan yang sejalan dalam hal intervensi pasar ini, sementara Ibnu Khaldun tidak mengajurkan dengan tegas meskipun sangat menekankan pentingnya mekanisme pasar yang bebas.
Penetapan harga ini dapat dilakukan jika: (1) faktor-faktor yang menyebabkan perubahan harga adalah distorsi terhadap genuine factors, dan (2) terdapat urgensi masyarakat terhadap penetapan harga, yaitu keadaan darurat. Beberapa penyebab yang lazim menimbulkan distorsi ini antara lain :
·         Adanya penimbunan (ikhtikar) oleh segelintir penjual
·         Adanya persaingan yang tidak sehat, menggunakan cara-cara yang tidak fair, antar penjual sehingga harga yang tercipta bukan harga pasar yang sebenarnya.
·         Adanya keinginan yang amat jauh berbeda antara penjual dan pembeli, misalnya penjual ingin menjual dengan harga yang terlalu tinggi sementara pembeli ingin membeli dengan terlalu rendah.
Kadangkala ada penjual yang sengaja menimbun dan menahan barangnya pada suatu waktu dengan tujuan untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi di waktu mendatang. Di sini penimbunan memang dilakukan untuk mempermainkan harga sesuai dengan kepentingan penimbun. Inilah yang disebut ikhtikar yang tidak saja dilarang oleh ajaran Islam karena merugikan masyarakat banyak, tetapi juga dikategorikan perbuatan dosa[4] Dengan adanya penimbunan ini berarti jumlah barang yang ditawarkan di pasar akan berkurang secara semu, sebab sesungguhnya hanya berpindah ke gudang penimbunan penjual.

Adanya ikhtikar ini tentu saja merugikan konsumen sebab mereka harus membeli dengan harga yang lebih tinggi yang merupakan monopolistic rent. Agar harga kembali pada posisi harga pasar maka pemerintah dapat melakukan berbagai upaya menghilangkan penimbunan ini (misalnya dengan penegakan hukum), bahkan juga dengan intervensi harga. Dengan harga yang ditentukan ini maka para penimbun dapat dipaksa (terpaksa) menurunkan harganya dan melempar barangnya ke pasar.

Persaingan dalam pasar seringkali berjalan tidak sehat, tidak fair, sehingga harga yang terjadipun tidak mencerminkan competition market price. Beberapa praktek hal ini antara lain:
1.      Demi meraih keuntungan yang tinggi seringkali penjual melakukan berbagai cara untuk bisa menjual pada harga yang tinggi. Manipulasi terhadap informasi yang benar seringkali dilakukan oleh produsen, sehingga ekspektasi konsumen terhadap barang yang dibelinya menjadi salah. Inilah yang disebut tadlis, yaitu penipuan. Para pembeli dalam kasus ini sesungguhnya terpaksa harus membayar dengan harga yang lebih tinggi dari yang sewajarnya. Tadlis dapat terjadi dalam hal kualitas (barang bermutu rendah dikatakan bermutu tinggi), kuantitas (ukuran atau takaran yang tidak tepat) atau harga (barang murah dijual dengan mahal).
2.      Harga yang tinggi ini dapat diambil antara lain karena memanfaatkan ketidaktahuan/kebodohan konsumen terhadap barang yang dijual (ghaban faa hisy). Kebodohan konsumen sengaja dimanfaatkan untuk menaikkan harga sehingga harga yang terjadi tentu tidak akan mencerminkan keuntungan riil keduanya.
3.      Cara lain adalah dengan melakukan kolusi antara penjual dan sekelompok pembeli tertentu (yang sebenarnya kolega penjual) untuk menipu harga pasar. Misalnya konsumen tertentu ini membeli dengan harga tinggi sehingga konsumen lainnya terpaksa juga membeli dengan harga tinggi pula.
4.      Sementara untuk memenangkan persaingan dengan pelaku lain juga terdapat penjual yang menawarkan barangnya dengan harga di bawah pasar .Dalam pasar yang kompetetif, sebagaimana kondisi pasar pada masyarakat Islam klasik, menjual di bawah harga pasar merupakan predatory market. Dengan menjual di bawah harga pasar, meskipun harus merugi, para penjual ini berharap pesaingnya akan keluar dari pasar, dan setelah itu mereka bisa kembali menaikkan harga untuk mendapatkan keuntungan di atas normal profit. Dalam situasi seperti ini para penjual yang memiliki modal besar kemungkinan mampu bertahan, tetapi yang bermodal kecil terpaksa keluar dari pasar.
Dalam kenyataan seringkali juga terjadi penjual menawarkan dagangan dengan harga yang terlalu tinggi, sementara konsumen menginginkan terlalu rendah. Jika proses tawar-menawar di antara keduanya tidak dapat terjadi, maka dapat dipastikan mekanisme pasar akan terganggu. Untuk itu pemerintah harus juga menetapkan harga yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, yaitu harga yang lazim (customary price).
Jumhur ulama juga sepakat bahwa kondisi darurat (emergency) dapat menjadi alasan pemerintah mengambil kebijakan intervensi harga, tetapi tetap berpijak kepada keadilan. Secara umum kondisi darurat yang dimaksud adalah
·         Harga naik sedemikian tinggi di luar kewajaran sehingga tidak terjangkau masyarakat
·         Menyangkut barang-barang yang amat dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya bahan pangan, dan
·         Terjadi ketidakadilan atau eksploitasi antara pelaku-pelaku dalam transaksi tersebut.
Imam Hanafi menyatakan bahwa pada prinsipnya intervensi harga dilarang, tetapi bisa diterapkan jika para penjual menaikkan harga secara berlebihan dan para qadi (hakim) tidak dapat melindungi masyarakat terhadap bahaya ini.

6.      Cara Menurunkan Harga Menurut Islam.  
Penyebab kenaikan harga tersebut di atas bisa diakibatkan oleh 3 faktor: Pertama, Langkanya barang, semisal akibat bencana alam, Kedua, Penurunan nilai mata uang yang dipegang masyarakat, Ketiga, Tingginya permintaan, semisal menjelang hari besar Islam. Ketiga faktor tersebut sama-sama akan membuat kenaikan harga, atau kemampuan uang untuk mendapatkan harga sembako tersebut akan menurun, sehingga untuk mendapatkan harga sembako, masyarakat harus mengeluarkan jumlah uang yang lebih besar dari biasanya. Dan ini bisa disebut sebagai inflasi (kenaikan harga).Perbedaannya adalah, apabila faktor pertama dan ketiga adalah faktor yang bukan berasal dari perbuatan jelek dari tangan manusia, sehingga Nabi SAW melarang menetapkan harga (ta’sir) ketika para shahabat menginginkannya agar harga tidak berfluktuatif. Sedangkan faktor ketiga adalah bukan sebab alami, melainkan sebab perbuatan jelek dari tangan manusia. Dan inilah problem inflasi yang dibahas dalam dunia akademisi ekonomi dalam bidang ekonomi makro. Karena kenaikan harga (inflasi) pada es jeruk atau barang-barang kebutuhan pokok pada faktor kedua, merupakan hal yang biasa terjadi dalam skala tahunan dan secara agregat (merata pada suatu masyarakat), dan hal ini terjadi bukan oleh sebab kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok tersebut. Dalam konsep free market swasta dibebaskan dari keterikatannya terhadap negara dan tanggung jawab atas permasalahan sosial yang terjadi karena aktivitas perusahaan mereka. Pengurangan tingkat upah dengan menghapus serikat-serikat pekerja dan memotong hak-hak buruh. Harga dibiarkan bergerak tanpa intervensi pemerintah. Kebebasan total di dalam perpindahan modal, barang, jasa. Para pengusung free market senantiasa menyatakan: “Pasar yang tidak diatur adalah jalan terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan memberikan keuntungan bagi setiap orang.”Perdagangan harus berjalan sebagai bagian dari ibadah. Dalam pandangan Islam perdagangan dibiarkan perdagangan secara wajar. Mekanisme penawaran dan permintaan akan menciptakan menciptakan tata pemenuhan kebutuhan masyarakat dan penetapan harga di atas keridhaan semua pihak yaitu antara penjual dan pembeli bukan ditentukan oleh sepihak (penjual saja). Negara mengawasi agar tidak terjadi praktek-praktek yang terlarang seperti penipuan, penimbunan, monopoli, kedzaliman, menetapkan harga, menaikkan harga. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas sebagaimana berikut: “Orang orang mengatakan, wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan saya sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezalimanpun dalam darah dan harta.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).



KESIMPULAN.

Ajaran islam memberikan perhatian yang besar terhadap kesempurnaan mekanisme pasar dan harga yang adil. Dan Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalm transaksi yang islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, sebab ia adalah cerminan dari komitmen syari`ah islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum harga yang adil ini adalah jarga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.
Terdapat beberapa terminology dalm bahasa Arab yang maknanya menuju kepada harga yang adil ini, antara lain: si`r al mithl, thaman al mithl dan qimah al adl. Istilah qimah ai adl (harga yang adil) pernah digunakan rasulullahsaw, dalam mengomentari kompensasi bagi pembebasan budak, dimana budak ini akan memjadi manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasidengan harga yang adil atau qimah al `adl (sahih muslim). Penggunaan istilah ini juga ditemukan dalm laporan tentang khalifah Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Tholib. Umar bin Khatab menggunakan istilah harga yang adil ini ketika menetapkan nilai baru atas diyah(denda),setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik.
                Istilah qimah al`adl juga banyak digunakan oleh para hakim yang telah mengkondifikasikan hokum islam tentang transaksi bisnis dalam obyek barang cacat yang dijual, perebutan kekuasaan,membuang jaminan atas harta milik, dan sebagainya.
                Meskipun istilah-istilah diatas telah digunakn sejak masa Rasulullah dan kulafaurrasidin, tetapi sarjan muslim pertama yang  memberikan perhatian secara khusus adalh Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah sering menggunakn dua terminology dalm pembahasan harga ini, yaitu: `iwad al mithl(equivalen compensation/kompensasi yang setara) dan kamal thaman al mithl(equivalen price/harga yang setar). Dalam al Hisbahnya ia mengatakan: `kompensasi yang setar akan diukur dan ditaksirkan oleh hal-hal yang setar,dan itulah esensi keadilan(nafs al adl)’. Dimana pun ia membedakan antara dua jenis harga, yaitu harga yang tidak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dan mempertimbangkan harga yang setara itu sebagian harga yang adil. 
                Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalm transaksi yang islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, sebab ia adalah cerminan dari komitmen syari`ah islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum harga yang adil ini adalah jarga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.
               



[1] Menurut O’Brien (1920, h. 18), “kajian Aquinas tentang masalah ekonomi terus menerus menjadi dasar pijakan bagi seluruh penulis sampai akhir abad ke 15. Pendapatnya tentang berbgai point, memperkeras dan menjelaskan terhadap para penulis kemudian untuk mengembangkan lebih detail ketimbang hasil kerjanya…”
[2] Salin dalam tulisannya pada Encyclopedia of Social Science memberikan komentar yang berbeda tentang pemikiran Thomas Aquinas ini, yaitu: “… tidaklah benar untuk mengatakan bahwa harga yang adil yang diformulasikan oleh Aquinas dan kemudian diikuti oleh para sarjana sama sekali tidak memiliki kandungan ekonomis” (Islahi, 1996).
[3] Beberapa kaidah hukum Islam yang relevan dengan situasi darurat antara lain :
·       Ad dharurahtu tuhbihul mahdurat, yaitu dalam situasi darurat status suatu hukum dapat berubah. Ajaran Islam yang menjunjung tinggi mekanisme pasar dapat ditiadakan sementara, kemudian diterapkan intervensi harga.
·       Al dharurahtu qaddaru bi qadriha, yaitu langkah yang diambil ditentukan oleh tingkat/derajat kedaruratannya.
[4] Dengan kata lain, ikhtikar adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual barang lebih sedikit (yang lainnya ditahannya) untuk harga yang lebih tinggi. Bersumber dari Said bin al Musyyab dan Ma’mar bin Abdullah al Adawi bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Tidaklah orang melakukan ikhtikar itu melainkan berdosa” (HR Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum. Izin mengcopy materinya yaa untuk referensi :) Sumbernya akan di cantumkan ko dan terima kasih, ini bermanfaat.

    BalasHapus